Umumnyacerita berakhir dengan hal-hal yang tidak disukai, misalnya kematian, kegagalan, atau kehilangan. Tidak banyak cerita yang menggunakan ending jenis ini karena memang tidak banyak pembaca yang menyukainya. Namun, jika dieksekusi dengan baik, cerita dengan sad ending justru bisa mendatangkan kesan tersendiri bagi pembaca. 4. Question Ending
Apakah Anda penggemar cerpen? Jika iya, mungkin Anda pernah membaca cerpen dengan akhir yang sedih atau menyentuh hati. Nah, kali ini kita akan berbicara tentang 10 cerpen sedih dengan ending kematian yang pasti langsung membuat Anda terharu. Bersiaplah untuk merasakan jalan cerita yang penuh dengan cinta, kepedihan, dan cerpen memiliki kesan dan pesan yang berbeda. Namun, ketika topiknya tentang kematian, maka pasti akan membawa kita pada situasi yang sangat menyedihkan. Meskipun demikian, cerita-cerita tentang kematian ini memiliki kekuatan untuk menginspirasi, memberikan hikmah, dan meninggalkan kenangan indah bagi siapa saja yang artikel kali ini, kami telah memilih 10 cerpen sedih dengan ending kematian yang paling menyentuh hati. Dari cerita tentang seorang ibu atau ayah yang harus meninggalkan anaknya, hingga kisah tentang persahabatan abadi yang harus berakhir karena kematian. Ceritanya pasti akan benar-benar memukau hati baca artikel ini sampai akhir, dan temukan emosi yang akan dimunculkan pada diri Anda setelah membaca 10 cerpen sedih ini. Rasakan kekuatan kata-kata dalam setiap kalimat cerita, dapati kebijaksanaan dari kisah-kisah ini, dan lakukan introspeksi pada diri sendiri. Siapa tahu, Anda akan menemukan banyak pelajaran hidup yang berharga, juga memberikan Anda motivasi untuk menjalani kehidupan lebih berarti dan penuh dengan kebaikan."Cerpen Sad Ending Kematian" ~ bbaz10 Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati AndaKetika mengalami kesedihan, kehilangan dan penderitaan, cerita tentang kematian mungkin menjadi pilihan yang tepat. Cerita pendek atau cerpen tentang kematian dapat membantu kita memahami betapa rapuhnya hidup dan bagaimana menghargai setiap momen. Berikut adalah 10 cerpen sad ending kematian menyentuh hati Anda yang akan membuat Anda Cerpen PertamaPada cerpen pertama, âKisah Seorang Ibuâ menggambarkan tentang ibu bernama Maya yang kehilangan suaminya dalam kecelakaan mobil yang mengakibatkan putranya tidak memiliki seorang ayah. Kisah ini sangat menyentuh dengan deskripsi duka yang mendalam dari sang ibu. Itu membuat pembaca memahami bahwa kehilangan itu sulit diatasi meskipun berlangsung lama dan Cerpen KeduaDalam cerpen kedua, âSepatu Merah Rubyâ, si tokoh utama menyadari bahwa kematian adalah sesuatu yang akan terjadi pada siapa saja. Dalam cerita ini, ada kesepian, kehilangan, dan ketidakberdayaan. Sondra digambarkan dengan cermat dan dengan sentuhan keberanian dan ketulusan yang jarang terlihat dalam karakter Cerpen KetigaCerpen ketiga, âHanya Untuk Sekaliâ, membawa kita ke cerita cinta yang penuh dengan kebahagiaan dan pergumulan. Penggambaran emosi dalam cerpen ini begitu kuat dan jujur sehingga membuat pembaca merasakan ikatan yang kuat antara para karakter dalam cerita. Akhirnya, ketika penyakit memisahkan pasangan, kita dipaksa untuk merenung tentang nilai kehidupan dan arti Cerpen KeempatâSebuah Kapalâ mengeksplorasi kematian dari sisi berbeda dan menghadirkan seni, magisisme dan kekuatan jiwa. Cerpen ini membahas terkait mantan nelayan yang memiliki hubungan erat dengan alam dan kemampuan menerima perintah alam. Cerita ini memberikan pengingat bahwa kematian bisa menjadi titik balik dalam kehidupan, dan sebuah proyeksi sekaligus refleksi karena itu tidak selalu akhir dari Cerpen KelimaDalam cerpen âInspirasi Terakhirâ, sang tokoh utama mendapatkan undangan ke pemakaman mendiang ibunya oleh wanita asing yang belum pernah dikenal. Dari situ, dia tertarik dengan 'inspirasi terakhir' yang disampaikan kepada ibunya di ruang ICU menjelang ajalnya. Meskipun mungkin sulit untuk memahami kematian, terkadang kehilangan bisa memberikan sebuah pelajaran sangat Cerpen KeenamâDi Ujung Hidup, Haruskah Ada Penyesalan?â adalah cerpen yang ditulis oleh Melisa Michellej. Dalam kisah ini, kita dihadapkan pada keraguan, kesedihan dan bahkan penyesalan seorang wanita ketika dia menyadari dia dekat dengan akhir hidupnya. Pembaca dipaksa untuk merenung tentang arti hidup dan bagaimana harus menghabiskan sisa waktu hidup dengan Cerpen KetujuhCerita tentang âCinta Abadiâ tidak seperti cerita cinta umumnya, tetapi lebih mengarah pada segenap aspek kehidupan termasuk kematian. Kita mengikuti kisah Mr. Evans, yang merasa kesepian setelah ditinggal mati oleh istrinya, Ibu Evans. Meskipun cinta abadi dimungkinkan, cerpen ini menggarisbawahi pentingnya hadir dalam hidup seseorang sebelum ajal Cerpen KedelapanâRindu Sang Pemenangâ adalah cerpen tentang percintaan remaja pada malam Natal. Namun cerita ini berakhir tragis dengan kecelakaan mobil. Hal yang menjadi pesan utama adalah kita tidak perlu menunda apapun, dan harus mengucapkan rasa sayang terhadap orang yang kita cintai selama masih Cerpen KesembilanDalam cerita âDia Adalah Dirikuâ, seorang penulis menuliskan otobiografinya. Namun sang tokoh utama memutuskan untuk menjual dirinya sendiri setelah merasa lelah dengan keluarga dan kesulitan menghadapi identitas. Ini adalah cerita tentang perlindungan diri dan keputusan sulit yang harus diambil dalam Cerpen KesepuluhâSurat Dari Kakekkuâ menceritakan tentang kisah kematian yang terpaksa dialami oleh tokoh utama setelah mengetahui sebuah surat yang dikirimkan oleh sang kakek. Surat ini memberikan pesan tentang hidup, cinta dan keluarga. Kisah ini membuat kita menyadari bahwa kematian menciptakan arti yang jauh lebih besar dari pada apa yang biasanya kita Comparison 10 Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda No Judul Cerpen Pesan Moral Karakter 1 Kisah Seorang Ibu Kehilangan dan Kesedihan Maya sebagai ibu 2 Sepatu Merah Ruby Tanggung Jawab dan Kesepian Sondra sebagai tokoh utama 3 Hanya Untuk Sekali Kesetiaan dan Kehidupan pasangan dalam cerita 4 Sebuah Kapal Kekuatan Jiwa dan Kemampuan Menerima Perintah Alam mantan nelayan 5 Inspirasi Terakhir Harga Sebuah Pelajaran dan Kehilangan sang tokoh utama 6 Di Ujung Hidup, Haruskah Ada Penyesalan? Krugian dan Kematian tetap pada sang tokoh utama 7 Cinta Abadi Sepi, Cinta, dan Perjalanan Hidup Mr. Evans dan Ibu Evans 8 Rindu Sang Pemenang Kecelakaan Mobil dan Kenangan Yang Berharga cerita percintaan remaja 9 Dia Adalah Diriku Perlindungan Diri dan Keputusan Suik sang tokoh utama 10 Surat Dari Kakekku Kematian dan Keluarga sang tokoh utama dan sang kakek Opini tentang 10 Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati AndaCerita pendek tentang kematian dapat mengeksplorasi tragedi sekaligus menyampaikan pesan moral. Sepuluh cerpen ini memberi wawasan pada pembaca tentang bagaimana menghargai berbagai makna kematian dan kehilangan. Dalam beberapa cerpen ini, karakternya adalah orang yang menjadi korban kecelakaan atau penyakit, sementara dalam yang lain, karakternya hidup dengan kesepian setelah kehilangan pasangan cerpen memiliki keunikan dan ciri khas tersendiri, tetapi masing-masing sangat menyentuh hati dan membuat kita merenung. Bagaimanapun juga, kematian itu tidak bisa dihindarkan, tetapi kita dapat belajar untuk menghargai setiap momen dengan baik. Saya merekomendasikan sepuluh cerpen sad ending kematian yang menyentuh hati sebagai bacaan yang sangat kisah ini amat inspiratif dan dirancang untuk menggugah emosi pembaca. Setiap kisah mencakup pesan yang kuat tentang makna hidup dan kesetiaan. Dalam Kisah Seorang Ibu, kita melihat betapa rapuhnya kehidupan dan bagaimana kesetiaan seorang ibu yang digambarkan secara indah melampaui segalanya. Sementara itu, âRindu Sang Pemenangâ mengingatkan kita untuk tidak menunda apa yang perlu kita sampaikan kepada orang yang kita cintai. Ini adalah cerita yang membuka pikiran kita tentang pentingnya ikatan yang kuat dalam kisah ini memperlihatkan kemampuan penulis untuk menyentuh hati pembaca dan memberikan perspektif baru tentang kehidupan dan makna kematian. Terlepas dari semua kekurangan, mereka mendemonstrasikan kemampuan penulis yang luar biasa dalam membawa pembaca ke dunianya sendiri. Seni mereka menghibur dan belajar banyak hal positif bagi pembacaTerima kasih telah berkunjung ke blog kami dan membaca artikel tentang 10 Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda. Kami berharap Anda dapat menikmati setiap cerpen yang telah kami bagikan dan merasakan getaran emosional yang tersampaikan lewat tulisan-tulisan cerita-cerita pendek yang diliput dalam artikel ini, kami mengajak Anda untuk merenung dan berempati dengan perasaan tokoh-tokohnya yang harus melewati masa-masa sulit dan tragis. Mereka mungkin hanya fiksi atau imajinasi, namun setiap kisah yang disajikan di sini berbobot dan dapat membuat pembaca terhanyut dalam alur sadar bahwa cerpen dengan ending sedih bukanlah pilihan yang tepat untuk semua orang, namun bagi pembaca yang ingin mencari tantangan dan menguji ketahanan emosionalnya, selalu terbuka peluang untuk menjelajahi hal-hal baru dan berbeda. Terakhir, semoga artikel ini dapat memberi manfaat bagi Anda dan menginspirasi Anda untuk berekspresi lewat tulisan. Sampai jumpa di artikel-artikel berikutnya! Apa itu Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda adalah kumpulan cerita pendek yang mengisahkan tentang kematian yang menyentuh hati dan menguras emosi pembaca. Apa tema cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Tema cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda adalah tentang kehilangan, kesedihan, perpisahan, dan rasa sakit yang dihadapi oleh orang-orang yang ditinggalkan. Apakah cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda cocok untuk semua usia? Karena tema cerita yang sensitif, cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda sebaiknya hanya dibaca oleh mereka yang sudah cukup dewasa untuk memahami dan mengendalikan emosi mereka. Apa pesan moral yang bisa dipetik dari Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Pesan moral yang bisa dipetik dari Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda adalah untuk lebih menghargai hidup dan orang-orang yang ada di sekitar kita, serta belajar menerima kenyataan bahwa kehilangan adalah bagian dari hidup. Apakah Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda bisa membuat pembaca merasa sedih? Ya, cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda sangat emosional dan mampu membuat pembaca merasa sedih dan terharu. Apakah Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda bisa memberikan inspirasi bagi pembaca? Ya, cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda bisa memberikan inspirasi bagi pembaca untuk lebih menghargai hidup dan orang-orang yang ada di sekitar kita. Siapa saja penulis cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Penulis cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda berasal dari berbagai kalangan, baik itu penulis amatir maupun profesional. Apakah Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda cocok dibaca saat sedang sedih atau galau? Tidak, sebaiknya cerita dalam Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda tidak dibaca saat sedang sedih atau galau karena bisa memperburuk kondisi emosi seseorang. Bagaimana cara mendapatkan buku Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Buku Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda bisa didapatkan di toko buku terdekat atau melalui situs-situs jual beli online. Adakah sequel atau lanjutan dari Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda? Tidak, Cerpen Sad Ending Kematian Menyentuh Hati Anda adalah sebuah kumpulan cerita pendek yang tidak memiliki sequel atau lanjutan.Kasimbertanya pada Juhri yang sedang duduk di atas jok motor sambil memainkan HP. Pertanyaan barusan bukan pertama kalinya yang pernah dilontarkan Kasim. Ia kerap mengajak orang bicara tentang kematian sampai orang-orang perlahan menghindarinya, termasuk para tukang ojek yang memangkal di tempat itu. Hanya Juhri yang dianggap mampu meladeni pertanyaan Kasim tanpa merasa bosan.Cerpen Karangan Anteng Maya SurawiKategori Cerpen Cinta Sedih Lolos moderasi pada 12 September 2013 Air mata ini seraya aliran sungai yang tak pasti di mana letak ujungnya. Menciptakan segala kegelapan dan kesenduan hati. Bayangannya seolah telah melekat pasti di dalam jiwa dan ragaku. Sampai di bawah batas kesadaranku pun aku tak mampu sama sekali untuk melupakannya. Satria Andika, dengan segala kesederhanaan yang dia miliki aku mencintainya. Sesosok pria berwibawa yang sampai sekarang aku tak tau dia dimana. Seorang pangeran yang dulu dan sampai sekarang, lima tahun berlalu tetap singgah di dalam relung hatiku yang paling dalam. Kenangan akan kebersamaan yang dulu terjalin masih terekam jelas di dalam otakku, seolah meski kepala ini terbentur hingga hancur tak akan menghilangkan sedikitpun cerita tentangnya di dalam hidupku. Ingatan ini melangkah mundur kembali, mengingat peristiwa lima tahun silam, saat aku dan dirinya, Satria Andika. â âAku mencintaimu Serinâ ucapnya seraya memegang kedua pergelangan tanganku. âDan aku pun juga sangat mencintaimu, Dikaâ balasku menatap mata teduhnya itu. âAku akan berjuang, sampai kedua orang tuamu mau menerimaku. Aku akan pertahankan cinta kita. Salahkah aku Serin, jika aku yang hanya seorang pedagang sayur mencintai anak seorang direktur ternama sepertimu?â tanyanya. Aku tau ada luka mendalam di dalam bayangan hitam bola matanya. âTidak Dika, tidak ada yang salah. Cinta tak memandang status seperti itu. Aku mencintai segala kesederhanaan yang kau punya. Karena hanya kamulah yang mampu mencintaiku setulus dan sepenuh jiwa ragamuâ jawabku seolah menenangkan hati dan perasaannya. âLalu bagaimana dengan seorang perwira yang nantinya akan menjadi calon suamimu itu?â âJangan biarkan kata itu terucap lagi dari mulutmmu Dika. Itu pilihan orang tuaku. Dan sampai kapanpun hati ini akan tetap selalu memilihmuâ âSudah malam, sebaiknya aku antarkan kau pulangâ âHemm. baiklah â Aku peluk pinggang Dika, ketika motor yang kita tumpangi melaju kea rah rumah. Tempat dimana Dika selalu merasa dihina oleh Papa. Dika lelaki yang kuat, aku percaya suatu saat nanti dia mampu untuk meluluhkan hati papa. Tiba di depan sebuah rumah mewah, terlihat mobil sedan berwarna hitam gelap terparkir di halaman luas rumah itu. Itu mobil Riko, seorang yang telah dipilih papa untuk menjadi calon suamiku. Sekali lagi itu pilihannya dan hatiku sama sekali tak menggubris lelaki siapapun yang mencoba mendekatiku, karena hati ini telah tertancap kuat di dalam hati Dika, dan tak ada satupun yang mampu merebutnya, meskipun dia adalah seorang perwira hebat. âSerin, mengapa tak pernah kau gubris ucapan papa ha? Jangan kau berhubungan lagi dengan si gembel itu. Dia hanya ingin memanfaatkanmuâ. Sungguh sapaan yang sangat menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya. âMaaf om. Bukan salah Serin. Saya yang telah memaksanya untuk bertemu malam ini. Sekali lagi maafkan sayaâ âDika?â panggilku lirih. Dia hanya melirik sekilas ke arahku. âOhh memang kau anak yang tak tau malu. Urusi saja seluruh sayur busukmu itu. Jika semua sayur busuk itu telah berubah menjadi emas dan mampu menyaingi kekayaanku, maka aku akan pertimbangkan lagi untuk kau memacari anak tunggalku, Serin Wijayaâ ucapnya sinis dan penuh dengan penghinaan. âOm saya janji akan membuat Serin bahagia. Saya janji akan berusaha untuk menjadi seperti apa yang om mau.â âBaiklah aku tunggu segala bukti ucapanmu itu. Tapi jangan berbangga dulu, Karena tetap saja pertunangan Serin dan Riko akan tetap terlaksana.â âPapa, hentikan!â âKau yang harus hentikan Serin, dan sekarang masuklah.. Masukk!!!â Tanpa sempat berkata lagi tangan perkasa Riko menarik lembut tanganku. Menarikku masuk ke dalam. Meninggalkan Dika dengan segala makian yang terus terlontar dari mulut Papa. Hujan mulai mengguyur deras. Sepertinya langit ikut menjadi saksi, betapa hancur dan rapuhnya hatiku, dan begitu juga dengan hati orang yang paling aku cintai, Satria Andika.. â Lima tahun berlalu sejak kejadian itu. Dan Dika meninggalkanku tanpa jejak sedikitpun. Hingga saat hari pernikahanku dua tahun silam dengan Rikopun, Dika tak kunjung menampakkan sosoknya. Begitu bencikah dia terhadapku sekarang? Begitu mudahkah dia melupakan segala janji dan setianya? Meskipun di sini, saat ini aku telah menjadi istri sah Riko Perdana pun, hati dan perasaan ini tetap seperti lima tahun silam, tetap menjadi milik kekasih yang paling aku cintai. Andika, andaikau tahu, kembalilah. Bawa aku pergi bersamamu, aku tak kuat jika terus seperti ini. Setiap hari tangisan diiringi namamu selalu terurai. â Hari ini aku ingin berjalan-jalan sendiri. Mencari kesegaran hidup yang selama ini telah mulai redup dimakan lembabnya hati dan kalutnya perasaanku. Kuhidupkan mesin mobil, mobil pun melaju ke sebuah pusat perbelanjaan mewah yang rencananya hari ini akan diresmikan pembukaannya, langsung oleh pemilik mall mewah tersebut. Sesampai di sana, sudah banyak pengunjung yang menyaksikan pemotongan tali tanda resmi pembukaan mall itu. Hingga tiba pada satu titik, jantungku seolah berhenti, kakiku seolah rapuh dan tak mampu berdiri, dadaku terasa penat dan sesak. Sosok itu. Sosok yang di segani oleh jejeran pengusaha-pengusaha ternama yang ikut serta dalam jalinan kerjasama pusat perbelanjaan itu, adalah sosok seorang yang selama lima tahun ini aku rindukan kehadirannya. Yah, dia Andika, Satria Andika. Mataku lekat menatap sosoknya. Mungkin karena ikatan cinta yang terlalu kuat atau alasan apa sajalah, Andika mampu merasakan sorotan mataku. Dia balas menatapku. Tampak keterkejutan di dalam bola mata teduh itu. Tak terasa air mata ini mulai terurai, Dika kau ada di hadapanku sekarang, dan memanggil namamu pun aku merasa tak sanggup. Segera aku bergegas meninggalkan tempat tersebut, menuju taman pinggiran kota tempatku selama ini membagi rasa. Aku menangis dan menangis di dalam ketenangan taman itu. Tak kusangka aku dapat melihatnya kembali. Rasa senang, bahagia, haru, bangga, marah, kecewa, bercampur menjadi satu. Kekalutanku belum hilang saat ku rasa sentuhan hangat di pundakku. âSerin Wijayaâ, panggilnya lembut Segera ku tolehkan wajah ke temapt sumber bunyi suara berada. âDika? darimana kau tau aku⊠âAku tak akan dengan mudah melupakanmu, sayangâ âDika, mengapa kau tega, mengapa kau tak memberiku kabar sama sekali? Mengapa kau biarkan orang lain memilikiku Dika? Kau pembohong!â teriakku histeris Tanpa banyak berkata, Dika membawa tubuhku ke dalam dekapannya. âSayang, andai kau tahu. Aku datang di hari pernikahanmu. Aku hanya mampu melihatmu dari jauh tanpa pernah bisa aku langkahkan kaki untuk mendekatimu. Aku malu sayang, aku belum bisa menjadi apa yang seperti papamu mau saat itu. Sejak saat itu aku berfikir, meskipun mungkin kamu telah dimiliki orang lain, jika memang kamu adalah jodohku, maka tanpa ragu aku akan merebutmu kembali, meskipun aku harus korbankan nyawaku untuk itu. Jadi jangan pernah berfikir aku membohongimu Serin. Tidak. Aku tidak seperti ituâ katanya tenang. Kata-kata yang dewasa itu cukup mampu meredam segala gejolak kekecewaan ini. Aku sungguh sangat mencintainya. Dan sampai sekarang pun perasaan itu tetap sama adanya. Andika Satria, sosok yang dulu sangat diremehkan oleh papa, kini menjadi seorang pengusaha besar yang namanya sangat diperhitungkan dalam jalinan-jalinan kerjasama nasional maupun internasional. Beasiswa kuliah singkatnya di Amerika mampu membawa dirinya ke dalam kesuksesan seperti sekarang ini. Keadaan ini membuatku merasa sangat dilema. Aku bahagia bisa bertemu belahan jiwaku, namun aku tak kuasa akan kenyataan. Kenyataan yang memaksaku untuk menyadari bahwa aku bukanlah Serin yang dulu, sekarang aku adalah Serin Perdana, istri sah dari suamiku, Riko Perdana. âSayang, maukah kau hidup bersamaku? Aku akan membawamu ke tempat yang orang lain tidak akan pernah menemukan dan mengusik hubungan kita.â âDika, tapi bagaimana bisa? Papa pasti akan menyuruh orang suruhannya untuk mencari kita. Dan aku tidak ingin sesuatu terjadi padamu. Sudah cukup kamu memendam segala sakit hatimu selama iniâ âTenang Serin, percayalah. Tak akan ada satu orang pun yang mampu mengusik kita. Kamu mau tau di mana tempat indah itu?â âIya, katakan Dikaâ Kemudian Dika berjalan bergegas di tengah jalan. Ketika berada persis di tengah keramaian kendaraan bermotor itu Dika berteriak keras⊠âAku akan membawamu ke surga kita Serin. Jika kau mencintaiku, kemarilah. BersamakuâŠ!!!â Bruukkkkkkkk⊠Truk besar menghempaskan tubuh Dika dengan keras. Aku hanya tercengang melihatnya. Tak kusangka Dika berbuat seperti itu. Sebesar itukah cintanya padaku? Dika aku mencintaimu.. sangat mencintaimu.. Tak ku sadari ternyata kaki ini membawaku ke tengah jalan, hingga sebuah pick up berkecepatan tinggi menghempaskan tubuh kecilku. Gelap.. dan hanya itu yang mampu aku rasakan.. â Andika Satria, kini berada si sampingku, menggenggam erat tanganku, sekilas menoleh padaku dan melemparkan senyum tampannya itu. Kami berdua melihat dua sosok tubuh bersimbah darah tak bernyawa di tengah keramaian itu. Aku tau kini jiwaku telah terlepas dari ragaku. Tapi aku sungguh merasakan kebahagiaan yang selama lima tahun ini aku nantikan. Tak akan pernah bisa suamiku Riko akan melepaskanku dan membiarkanku hidup bahagia dengan Dika, kekasih hatiku. Jadi mungkin inilah jalan terbaik dari serangkaian hidupku. Papa, Mama, Riko suamiku, maafkan aku. Aku meninggalkan kalian dengan perbuatan keji ini. Tapi pernahkah kalian mengerti bahwa hanya dengan Dika lah aku merasa hidup. Tak perlu aku hidup dengan kekayaan berlimpah. Aku hanya ingin bersamanya, bersama Andika Satria, dan kini aku mendapatkannya. Dan kalian tak lagi mempunyai hak atas diriku. Mungkin di mata orang lain, kematianku adalah hal yang tragis dan menyedihkan, tapi untukku, kematian ini adalah kematian terindah, karena dengan kematian ini, aku dapat memeluk erat kekasih hatiku, separuh dari nyawaku, orang yang paling aku cinta, Andika Satria, dan kini aku tak akan melepasnya lagi.. Cerpen Karangan Anteng Maya Surawi Facebook Umeegg Mhaiya SiiAnashikatosha Cerpen Kematian Terindah merupakan cerita pendek karangan Anteng Maya Surawi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatannya. "Kamu suka cerpen ini?, Share donk ke temanmu!" Share ke Facebook Twitter WhatsApp " Baca Juga Cerpen Lainnya! " Tentang Mencintai dan Dihianati Oleh Nafisa Suara gemuruh sorak bergembira teman teman sekolahku memenuhi halaman sekolah mendengar pengumuman hasil UN di SMA ku Salah satu SMA di Pekalongan 100% lulus. Begitupun aku dan teman teman Sesal Oleh Fachrur Rozzy Ngiingg, suara berdengung membangunkanku. Perlahan aku membuka mata yang terasa berat, yang pertama kulihat adalah warna putih dari warna langit-langit kamarku. Aku berusaha menggerakan tubuhku, lalu terduduk di pembatas Kini Tugasku Telah Selesai Part 3 Oleh Zee Choco Aku mencoba menekan tombol-tombol yang ada di blackberryku.. aku memasukan email sosialku.. aku mencoba melihat apa kegiatan Rian, dan ternyata semua statusnya membuat aku ingin menangis, aku melihat itu, Dear Diary About Someone I Loved Oleh Agus Purnamasari Sebelumnya aku tidak mempunyai hobi menulis, aku hanya ingin saja. Menulis sejarah tentang diriku sendiri. Hahaha⊠aku memang bukan siapa-siapa. But, apa salahnya mengoreksi diri sendiri? No is not, Senja Oleh Dewi Nurjanah Kini aku hanya bisa terdiam dalam tidurku dan menyaksikan mimpi yang begitu aneh ini. Suara ayam jago pun membangunkanku, Seolah ia ingin menghentikan mimpiku. âahh ternyata sudah pagi.â Ucapku âHai!, Apa Kamu Suka Bikin Cerpen Juga?â "Kalau iya... jangan lupa buat mengirim cerpen cerpen hasil karyamu ke kita ya!, melalui halaman yang sudah kita sediakan di sini. Puluhan ribu penulis cerpen dari seluruh Indonesia sudah ikut meramaikan loh, bagaimana dengan kamu?"
ArticlePDF AvailableAbstractWilliam Somerset Maugham's short story âThe Appointment in Samarraâ 1933 narrates a theme of how someone cannot avoid death, but the death is represented through a female figure. The research aims to expose a critic toward the representation of death through female character which is a cultivation of patriarchal ideas through literary works. This research used deconstruction framework as a reference to expose the paradox between woman and death. This was a qualitative research with an intertextuality approach. The data were in the form of quotations in the text and the source of the data was William Somerset Maughamâs short story âThe Appointment in Samarraâ. The data were collected through documentation technique and analysed with interpretation method. The results showed that the representation of death through woman was a patriarchal discourse and, with deconstructive reading, the narrative presented a paradoxical side; on one side, it presented that woman had horrible character, but on the other side, the horrible character implied power. Dismantling of the patriarchal discourse made the decon-structive process in this text became study of feminist deconstruction. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 159 PEREMPUAN DAN KEMATIAN DEKONSTRUKSI DALAM âTHE APPOINTMENT IN SAMARRAâ KARYA W. S. MAUGHAM Woman and Death Deconstruction in W. S. Maughamâs âThe Appointment in Samarraâ Rahmat Setiawana,*, Sri Nurhidayahb,* a,*Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Jalan Dukuh Menanggal XII No. 4. Surabaya Telepon 031 8281181, Faksimile 031 8281183, Indonesia, Pos-el b,*STKIP Bina Insan Mandiri Surabaya, Jalan Raya Menganti Kramat No. 133, Wiyung â Surabaya Telepon 031 7671122, Faksimile 031 7673322, Indonesia, Pos-el nurhidayah Naskah Diterima Tanggal 23 Juli 2019âDirevisi Akhir Tanggal 31 Oktober 2019âDisetujui Tanggal 1 November 2019 Abstrak Cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ 1933 karya William Somerset Maugham menarasikan tema bagaimana seseorang tidak dapat menghindari kematian, namun kematian direpresentasikan melalui sosok perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengung-kapkan kritik atas representasi kematian melalui tokoh perempuan yang mana itu merupakan penanaman ide patriarkat melalui karya sastra. Penelitian ini menggunakan kerangka berpikir dekonstruksi sebagai acuan untuk mengeksposisi paradoks antara perempuan dan kematian. Pe-nelitan ini bersifat kualitatif dengan pendekatan intertekstualitas. Data berupa kutipan dalam teks dan sumber data berupa naskah cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham. Pengumpulan datanya menggunakan teknik dokumentasi dan analisis data-nya dengan interpretasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa representasi kematian melalui pe-rempuan merupakan wacana patriarkat dan dengan pembacaan dekonstruktif, narasi tersebut menampilkan sisi paradoks; di satu sisi perempuan mengerikan di sisi lain sifat mengerikan meng-implikasikan kuasa. Pembongkaran wacana patriarkis itu menjadikan proses dekonstruktif dalam teks ini sebagai kajian dekonstruksi feminis. Kata kunci perempuan; kematian teks; dekonstruksi Abstract William Somerset Maugham's short story âThe Appointment in Samarraâ 1933 nar-rates a theme of how someone cannot avoid death, but the death is represented through a female figure. The research aims to expose a critic toward the representation of death through female character which is a cultivation of patriarchal ideas through literary works. This research used deconstruction framework as a reference to expose the paradox between woman and death. This was a qualitative research with an intertextuality approach. The data were in the form of quota-tions in the text and the source of the data was William Somerset Maughamâs short story âThe Appointment in Samarraâ. The data were collected through documentation technique and ana-lysed with interpretation method. The results showed that the representation of death through woman was a patriarchal discourse and, with deconstructive reading, the narrative presented a paradoxical side; on one side, it presented that woman had horrible character, but on the other side, the horrible character implied power. Dismantling of the patriarchal discourse made the decon-structive process in this text became study of feminist deconstruction. Keywords woman; death; text; deconstruction How to Cite Setiawan, R., Nurhidayah, S. 2019. Perempuan dan Kematian Dekonstruksi dalam Cerpen âThe Appoint-ment in Samarraâ Karya Maugham. Atavisme, 22 2, 159-171 doi Permalink/DOI Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 160 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print PENDAHULUAN Sebagai acuan yang referensial, perma-salahan yang perlu digugat adalah ketika perempuan selalu dibicarakan, terlebih perempuan muncul menjadi masalah ke-tika perempuan tersebut dihadirkan dalam sebuah teks. Dalam cerpen âAp-pointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham, narasi mengenai pe-rempuan sebagai sosok Kematian dibawa dalam bentuk anekdot, namun ada para-doks di dalamnya. Di satu sisi perempuan menjadi sangat mengerikan, namun di sisi lain perempuan menjadi sangat ju-mawa atas laki-laki tokoh lainnya. Meli-hat ini, pembacaan dekonstruktif menjadi sebuah alternatif yang dapat mengako-modasi paradoksikal wajah perempuan dalam cerpen ini. Terlebih masalah pe-rempuan dan mitos kematian dalam cer-pen ini juga akan dibawa bertamasya da-lam dunia intertekstualitas sehingga me-reka akan saling menggugat sejauh wa-cana tersebut saling berkaitan dan beri-ringan. Cerita pendek âThe Appointment in Samarraâ 1933 menarasikan seorang saudagar yang memiliki pelayan. Ketika di pasar, si pelayan disapa oleh perempu-an, entah bagaimana, si pelayan ketakut-an karena ia merasa si perempuan adalah kematian. Ia pulang dan meminta si sau-dagar untuk meminjaminya kuda. Si pela-yan ingin melarikan diri dari kematian dan pergi menuju Samarra. Si saudagar menemui si perempuan untuk menanya-kan mengapa ia mengancam pelayannya dan si perempuan justru mengatakan bahwa itu bukan ancaman, melainkan sa-paan bahwa mereka akan bertemu di Sa-marra. Anekdot dalam cerita tersebut mewacanakan dua poin pertama menge-nai mitos kematian dan kedua mengenai representasi perempuan. Kedua poin ter-sebut merujuk pada narasi patriarkis. Narasi patriarkis menawarkan citra kekuasaan atau dominasi laki-laki atas perempuan. Karena bersifat representatif, narasi patriarkis dihadir-kan melalui citra-citra implisit sehingga tidak memiliki kesan denotatif bahwa ia melegitimasi kekuasaan laki-laki atas wa-cana yang disebarkan Demirhan & Ăakir-Demirhan, 2015. Citra perempuan, secara historis, memang sudah dinarasikan dalam posisi rendah. Kebanyakan mereka hadir dalam teks-teks klasik sehingga keniscayaan ini menjadi semacam doksa atas diri perem-puan. Dalam mitologi Yunani klasik, po-sisi perempuan sudah dilenyapkan dalam perannya, baik secara historis, kultural, maupun sosial. Mereka bukan hanya dile-nyapkan, namun mereka juga diabstrak-sikan dalam mitos-mitos yang kurang ra-mah yang terfiksasi dalam wacana mere-ka, terutama secara mitologis dan wacana yang mengekornya. Misalnya, mitos Yu-nani kuno, Medusa, wanita yang memati-kan dengan kepala ular. Sebaliknya, Aphrodite Venus dalam budaya pasca-imperialisme Romawi digambarkan se-bagai dewi kecantikan, cinta, dan keang-gunan, tapi dalam proses penciptaannya dia adalah buih yang keluar dari laut, se-dangkan laut adalah Neptunus Dewa. Jika Medusa dinarasikan sebegitu menge-rikan dan mematikan, Aphrodhite justru terlahir sebagai bagian dari Neptunus Hard, 2003. Keduanya menarasikan sisi rendah dari suatu tokoh subjek memati-kan dan objek seksualitas. Selain itu, dalam karya sastra klasik, kisah Antigone karya agung Sophocles menarasikan bagaimana perempuan dija-dikan sosok yang akan menghadapi dan sudah ditetapkan sebagai objek tragedi Seaford, 1990. Karya agung Aeschylus, Agamemnon, kisah seorang raja yang di-bunuh oleh istrinya, Clytemnestra, ka-rena sebuah dendam masa lalu, dan yang lebih parah adalah bahwa Clytemnestra berselingkuh dengan Aegisthus, yang ma-sih saudaranya Gainsford, 2005. Masih dalam porsi yang sama, keduanya menyi-ratkan posisi serta situasi perempuan Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 161 sebagai sosok yang rendah. Tragedi ada-lah paradigma yang berlaku di era pra Sokrates. Pasca Sokrates juga tidak mengubah hal yang signifikan pada posisi perem-puan, para narator masih menganggap universalitas laki-laki. Perempuan hanya-lah objek yang menunjang kekuasaan serta dominasi laki-laki. Banyak teks atau mitos yang diselewengkan menjadi waca-na yang dinatural-patriarkiskan sehingga dipercaya bahwa perempuan adalah ke-benaran mengenai hal-hal yang negatif Ohmann, 2019. Dengan kata lain, narasi dalam teks sering menjadi instrumen untuk mene-gaskan kekuasaan patriarkis dan ini yang menjadi inti permasalahan dalam pene-litian ini; bahwa representasi perempuan melalui kematian merupakan pijar pa-triarkis yang perlu dibongkar, selayaknya mitos kecantikan. Dalam penelitiannya, Julian 2016 mengangkat mitos kecantikan dalam cer-pen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni âJanda Sungai Gayamâ dan âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. Melalui teori mi-tos kecantikannya Naomi Wolf, ia meng-hasilkan tiga poin 1 kedua cerpen men-jelaskan bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jen-jang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; 2 kedua cerpen tersebut menjelaskan bah-wa kualitas cantik merujuk pada perilaku yang dapat membangkitkan gairah dari-pada penampakan fisik; 3 kecantikan bukanlah kualitas instrinsik, namun ia di-pengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan suprana-tural. Dari sana, Julian berpendapat bah-wa mitos kecantikan berdasarkan pada selera laki-laki Julian, 2016. Selain mi-tos kecantikan, hasrat perempuan yang ingin didominasi laki-laki adalah korelasi nyata untuk menegaskan bahwa perem-puan sudah berada pada level repre-sentasi yang degradasi atas kuasa maskulinitas yang hegemonik Connell & Messerschmidt, 2005. Kelebihan penelitian Julian adalah bagaimana ia mampu menguraikan per-masalahan mitos kecantikan namun ke-kurangannya terletak pada bagaimana ia memfokuskan analisis pembongkaran mitos kecantikan dengan fisikal referensi. Artinya, penelitian ini melakukan proses pembedahan dengan pembongkaran yang lebih bernuansa antropologis, kul-tural, dan mitologis karena perempuan di dalam penelitian ini tidak diuraikan seca-ra fisikal, namun secara kultural. Untuk mengatasi kelemahan dan ke-kurangan penelitian yang sudah dipapar-kan tersebut, penelitian ini menjelaskan status eksklusif dalam menawarkan ga-gasan pembongkaran teks naratif yang je-las mengimplikasikan suatu representasi perempuan dalam kuasa patriarkis. Ini bukan hanya mengenai mitos, kecanti-kan, atau hegemoni, melainkan tentang narasi-narasi kematian yang direpresen-tasikan melalui perempuan. Dengan adanya wacana diskursif mengenai kuasa patriarkis tersebut, ma-ka pembacaan dekonstruktif menawar-kan semacam kritik. Dari kritik, hadir wa-cana tandingan disisipkan sebagai upaya untuk menantang tradisi patriarkis mela-lui teks naratif. Dengan melihat konteks ini, maka Dekonstruksi Derrida dapat dijadikan se-bagai alternatif untuk membongkar per-gulatan mengenai kebenaran perempuan dalam sebuah teks karena teks bersifat terbuka. Keterbukaan teks ini tampak sa-ngat jelas ketika pembaca masuk dalam sebuah cerita atau narasi seperti cerpen âThe Appointment in Samarraâ. Secara teoretis, hal yang krusial, yang sangat perlu untuk diperhatikan adalah Derrida melepaskan konteks de-ngan teks sehingga segalanya tampak menjadi ambigu dan berpotensi untuk berjungkir-balik, berlawanan, serta ber-negasi satu sama lain. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 162 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print Bahasa, bagi pemikir garis keras strukturalisme, adalah sistem tanda yang mengekspresikan ide Chandler, 2005. Tanda sendiri adalah kumpulan penanda dan petanda Hawkes, 2002. Apa yang dapat ditangkap adalah bahwa bahasa adalah sebuah sistem dan bahasa adalah sebuah struktur Page, 2004. Bahasa adalah elemen penting untuk melepaskan manusia dari dunia ide ke dunia fenomena atau realitas. Jadi, manu-sia hanya direpresentasikan oleh bahasa. Jika bahasa terstruktur, maka manusia ju-ga terstruktur. Ini merupakan cara bagai-mana paham strukturalisme menem-peleng filsafat dengan gagasan yang ber-tujuan untuk melihat dunia sebagai sebu-ah struktur Barbosa de Almeida, 2015. Struktur bukanlah hal yang rumit untuk dipahami karena struktur merupa-kan asas yang jelas, mutlak, pasti, tertata, terorganisasi, dan dapat dipahami de-ngan jelas. Struktur adalah model abstrak dari organisasi. Di dalamnya terdapat un-sur serta komposisi yang terhubung da-lam totalitas yang sistemik. Sederhana-nya, hubungan antara komponen-kom-ponen tanda-tanda adalah bagian yang cukup penting dari pembentukan signifi-kansi makna dari segala sesuatu dan segala sesuatu akan memiliki makna jika terstruktur Hawkes, 2002. Untuk menyajikan kebenaran, mela-lui hubungan yang ketat antara penanda dan petanda, Derrida menyebut Metafi-sika Kehadiran Bradley, 2008. Bagi Derrida, hubungan antara penanda dan petanda, dalam sistem tanda, bukanlah hal kaku dan stabil, melainkan hubungan yang tidak stabil karena tidak adanya ja-rak antara penanda dan petanda. Derrida melihat teks bukan sebagai tanda-tanda, melainkan jejak-jejak. Da-lam tanda, ada pemisahan antara pe-nanda dan petanda, sementara dalam jejak, penanda dan petanda mencair dan kabur. Jika sebuah penanda mengacu pa-da petanda, jejak mengacu pada jejak-jejak lainnya yang tidak terbatas sehing-ga, yang harus dipahami adalah bahwa bagi Derrida, sebuah teks bukanlah se-buah kesatuan struktural yang penuh se-perti yang dicita-citakan oleh para struk-turalis Stocker, 2006. Setiap teks selalu memuat elemen-elemen yang menolak to differ keutuh-an dan menunda to defer makna penuh-nya. Struktur teks selalu dianggap mem-punyai pusat tertentu dan hal itu yang membuat makna-makna yang lain tidak dihadirkan dan ini yang disebut Derrida Logosentrisme Norris, 2017. Logosentrisme adalah tradisi filsafat yang memburu telos akhir, tujuan, mak-sud. Dengan menjadikan logos sebagai telos, bagi Derrida itu merupakan Keke-rasan Metafisik. Bagaimanapun juga, pu-sat selalu tersebar di luar struktur dan oleh karena iu teks selalu terbuka Stocker, 2006. Logosentrisme dapat dipahami mela-lui derivasi kata logos, yang berarti kebe-naran atau pengetahuan, dan sentrisme, yang berarti terpusat. Logos adalah istilah Yunani yang berarti Kata, Kata mengacu pada rasionalitas, kebijaksanaan umum, prinsip intelektualitas Norris, 2017. Logos juga diketahui sebagai makna pembicaraan, logika, rasio, dan kata-kata Tuhan. Jadiâdalam artian yang sederha-naâlogosentrisme dapat dipahami seba-gai sebuah gagasan atau ide yang mem-percayai bahwa ada pusat dari segala sesuatu berdasarkan logos. Dalam kon-teks Derrida, kritik ini menunjuk hidung Ferdinand de Saussure yang Linguistik-nya ilmu mengenai bahasa memu-satkan Suara sebagai objek studi dan me-nyepelekan Tulisan memusatkan Suara namun memarjinalkan Tulisan. Derrida menguhubungkan fakta ini sebagai fonosentrisme dengan logosentris-me, yang paling awal dan terakhir adalah logos, yang merupakan kehadiran dari diri dan kesadaran diri sepenuhnya Sarup, 1988. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 163 Dengan mengeksposisi kritik atas lo-gosentrisme, Derrida mencoba menawar-kan gagasan mengenai de-sentrisme un-tuk setiap kebenaran yang dianggap sta-bil, atau dengan kata yang sederhana, me-nawarkan makna-makna yang lain plu-ral yang bahkan berkebalikan. Ada se-macam proses de-sentralisasi logosen-trisme, Derrida menyebutnya sebagai diffĂ©rance, yang terbetuk dari bahasa Pe-rancis yang berarti to differ untuk mem-bedakan dan to defer untuk menunda. Ide mengenai diffĂ©rance berfungsi untuk mengacaukan stabilitas makna Stocker, 2006. DiffĂ©rance bukanlah sebuah kata, de-finisi, atau konsep karena diffĂ©rance menghubungkan suatu proses untuk membedakan dan menunda, sebagai se-buah definisi dari satu penanda yang di-butuhkan dan tidak pernah selesai yang mengacu pada penanda lain, dan pada ke-seluruhan sistem penanda yang mem-bentuk bahasa Sarup, 1988. Lebih se-derhananya seperti ini; penanda adalah kata, petanda adalah konsep dalam pikir-an. Sebuah kata kucing, merujuk pada hewan berkaki empat, berbulu, makan ik-an, dan seterusnya. Tulisan yang dimi-ringkan adalah petanda, dan penandanya adalah kata kucing. Masalahnya, setiap petanda pasti sudah penanda, dan lebih kacaunya lagi, apa yang ditandai petan-da tidak pernah selesai ada kata dan se-terusnya yang merujuk pada tidak sele-sainya proses signifikansi. Artinya, semua petanda sudah merupakan penanda. Ber-arti, semuanya hanyalah penanda atau kata, kata yang merujuk pada kata lain-nya. Itu mengapa, tidak ada yang tetap absolut dan semuanya tertunda karena tak terselesaikan banyak kata yang tidak dihadirkan. Itu adalah konsep Derrida tentang diffĂ©rance. Jadi, dalam diffĂ©rance, differing me-ngacu pada sesuatu yang diberikan dan yang berbeda dengan yang sebelumnya, membangkitkan segala hal yang tidak mungkin, dan menghadirkan absensi se-mentara deferring mengacu pada bagai-mana makna akan selalu hadir dalam ar-tian selalu menunda dan tertunda. Kata tidak pernah mencapai stabili-tas, bukan hanya karena mereka berhu-bungan satu sama lain, atau mengambil bagian dari bentuk maknanya, atau kata-kata yang baru saja mendahului mereka, tetapi juga karena maknanya selalu di-modifikasi oleh apapun yang mengikuti-nya sebagai jejak. Pada akhirnya, jejak menjadi hasil dari ketakhadiran-ketakha-diran yang sudah dihadirkan. Derrida menggunakan istilah jejak pada struktur tanda sehingga makna mengandung arti-an-artian mengenai jejak atau yang Lain yang akan selalu hadir Sarup, 1988. Makna selalu hadir dengan makna-makna yang lain dan yang berbeda, na-mun Derrida lebih suka untuk menye-butnya dengan sous roture under erasue. Itu adalah sebuah tanda silang yang diadopsi dari Heidegger Stocker, 2006. Ia menggunakan istilah tersebut un-tuk mempertanyakan masalah Being. Oleh karena itu, makna yang plural meng-acu pada cara Derrida menjaga segala makna dan yang potensial dengan teks-teks yang bekerja sebagai rantai penanda Stocker, 2006. Dengan melihat itu semua, maka apa yang terangkum adalah sebuah istilah terkenal yang dinamakan Dekonstruksi, meski Derrida sendiri membenci nama tersebut. Bagi Derrida, teks selalu terbu-ka dan tidak ada ketidakmungkinan un-tuk memperluas jangkauan sebuah mak-na. Hal ini dikarenakan tidak ada hubung-an antara penanda dan petanda. Dengan kata lain, Derrida membuang semua kon-teks dari teks dan oleh sebab itu, teks selalu ambigu dan berpotensi mengeluar-kan apa yang disembunyikan dibaliknya yang selalu siap untuk ditelusuri sebagai jejak-jejak. Istilah yang sangat termasy-hur dari Derrida, âil nây a pas dâhors-texteâ Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 164 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print there is no outside-text tidak ada sisi-luaran teksâ Davidson, Derrida, & Spivak, 1979. METODE Penelitian ini adalah penelitian kualitatif, dengan pendekatan intertekstualitas Kershner, 2014. Intertekstualitas ber-fungsi sebagai proses konektivitas antara satu teks dan teks lainnya sehingga ter-jadi fleksibilitas proses pemaknaan dan dari sana, makna dekonstruktif terben-tuk. Data berupa kutipan dalam bentuk kalimat, klausa, frasa, atau bahkan kata karena sumber data adalah cerita pendek naratif teks yang berjudul âThe Ap-pointment in Samarraâ 1933 yang dina-rasikan oleh William Somerset Maugham. Teksnya dapat diakses pada https// 320/ Pengumpulan data menggunakan teknik dokumentasi karena sumber data penelitian ini adalah teks naratif. Pe-ngumpulan data dilakukan dengan cara pembacaan berfungsi agar teks dapat di-pahami secara keseluruhan dan inter-pretatif, inventarisasi kutipan berfungsi agar kutipan yang merujuk pada perma-salahan dapat terkumpul, dan klasifikasi. Analisis datanya menggunakan tek-nik interpretasi kritis karena pembacaan dekonstruktif membutuhkan proses in-terpretatif kritis Watson & Wood-Harper, 1996. Langkah analisis dengan cara penelusuran struktur narasi, klasifi-kasi dengan oposisi biner, dan kemudian pembacaan dekonstruktif sehingga mak-na secara struktural terbongkar dan men-jadi wacana kritis. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pembacaan dekonstruktif dalam ce-rita pendek ini adalah paradoks yang ditampilkan oleh perempuan dalam ceri-ta pendek yang hadir sebagai kematian atribusi negatif, namun juga membong-kar dominasi maskulinitas yang direpresentasikan dalam narasinya untuk menciptakan getir ketakutan pada sisi fe-minine tokoh laki-laki dalam cerpen ter-sebut. Penjelasan lebih detail diurai da-lam bagian pembahasan. Konstruksi Perempuan dan Kematian Sebelum melakukan Dekonstruksi, perlu didaulatkan kembali struktur yang sudah mencetak makna atas teks cerpen âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham 1933. Berikut ini adalah naskah lengkap cerpen âThe Ap-pointment in Samarraâ kurang dari 1000 kata. There was a merchant in Bagdad who sent his servant to market to buy pro-visions and in a little while the servant came back, white and trembling, and said, âMaster, just now when I was in the marketplace I was jostled by a woman in the crowd and when I turn-ed I saw it was Death that jostled me. She looked at me and made a threat-ening gesture, now, lend me your horse, and I will ride away from this city and avoid my fate. I will go to Sa-marra and there, Death will not find me.â The merchant lent him his horse, and the servant mounted it, and he dug his spurs in its flanks and as fast as the horse could gallop, he went. Then the merchant went down to the market-place and he saw me standing in the crowd and he came to me and said, âWhy did you make a threating gesture to my servant when you saw him this morning?â âThat was not a threatening gesture, I said, it was only a start of surprise. I was astonished to see him in Bagdad, for I had an appointment with him tonight in Samarra.â Ada seorang pedagang di Bagdad yang mengutus pelayannya ke pasar untuk membeli persediaan-persediaan dan dalam beberapa saat pelayan datang kembali, dengan muka putih pucat dan gemetar, dan berkata, âTuan, ketika sa-ya baru saja sampai di pasar, saya Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 165 didesak-desak oleh seorang wanita yang berada di dalam kerumunan dan ketika saya berbalik, saya menyadari bahwa yang mendesakku adalah Ke-matian. Dia menatap saya dan mem-beri isyarat ancaman dengan bahasa tubuh, sekarang, tolong pinjami saya kuda Anda, dan saya akan pergi jauh dari kota ini dan menghindari nasib saya. Saya akan pergi ke Samarra ka-rena di sana Kematian tidak akan me-nemukan saya.â Pedagang itu memin-jamkan kudanya, dan pelayan menai-kinya, kemudian dia memacunya pang-gul kuda dan dengan segera kuda ter-sebut berlari kencang membawa pela-yan itu pergi. Kemudian sang Pedagang pergi ke pasar dan dia melihatku ber-diri di dalam kerumunan dan dia men-datangiku seraya berkata, âMengapa Kau membuat gerakan mengancam ke-pada pelayanku yang Kau lihat pagi ini?â âItu bukan gerakan mengancam,â Aku mengatakan, âitu hanya kejutan awal. Aku malah terkejut melihat dia di Bagdad, karena aku punya janji dengan dia malam ini di Samarraâ Terjemah-an penulis. Jika dilakukan pembacaan struk-tural, maka poin-poin yang dapat diran-taikan adalah bahwa pelayan mempunyai Majikan, keduanya laki-laki, ada perem-puan yang merupakan Kematian. pelayan dapat menaiki kuda dan pergi ke Samarra. Pembacaan tersebut, memberi sinyal atau indikasi positif terhadap ke-mapanan teks yang menyebutkan bahwa perempuan dalam cerita itu adalah Ke-matian. Kematian memberikan ketakutan terhadap pelayan yang merupakan laki-laki. Melihat konteksnya, ketakutan disini adalah karena Kematian terkodifikasi sebagai penanda akhir kehidupan. Secara natural, hal tersebut membawa efek negatifitas dalam diri Kematian terhadap pelayan yang merupakan manusia. Terlepas dari masalah pelayan yang laki-laki atau Kematian yang perempuan, ada semacam intervensi disini terkait permainan tanda yang diberikan oleh teks tersebut. Penanda pertama adalah bagaimana seorang manusia dipertemu-kan dengan Kematian dan kedua adalah bagaimana manusia mencoba menghin dari Kematian, namun tetap tidak mam-pu menghindarinya. Dengan kata lain, ada semacam ko-relasi antara Kematian dan kehidupan manusia, yang mana Kematian merupa-kan asosiasi dari kengerian, kegelapan, keburukan, dan oposisi dari kehidupan yang merupakan dunia tempat manusia menjadi manusia. Artinya, Kematian ada-lah sebuah bentuk negatif dari kehidup-an. Kemudian, lebih jauh lagi dan lebih dalam lagi, apa yang dibalik pelayan dan Kematian tersebut adalah konstruksi gender. Atribut yang jelas direkatkan de-ngan sangat kuat adalah bahwa Pedagang dan pelayan merupakan laki-laki, dengan penanda stabilnya, menaiki kuda dan mencari nafkah, sedangkan Kematian merupakan perempuan, yang jelas-jelas sudah disebutkan dalam narasi cerita ter-sebut. Oleh karena itu, konstruksi yang terbentuk adalah bahwa Laki-laki adalah aspek yang positif terkait dengan peran-nya dalam kehidupan dalam teks ini sedangkan Perempuan adalah aspek yang terkait dengan perannya dalam Ke-matian, dan memang Perempuan disini adalah sang Kematian. Untuk memperjelasnya, maka Ta-bel 1 di bawah ini dapat digunakan seba-gai simpulan yang belum matang. Tabel 1 Konstruksi Pembacaan Struktural Tokoh pelayan adalah laki-laki dan ia ketakutan dengan perempuan yang ia jumpai di pasar, yang ia anggap sebagai sosok kematian. Artinya, pelayan Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 166 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print tersebut adalah manusia dan perempuan tersebut bukan manusia. Karena ia ma-nusia, maka ia memiliki kehidupan dan karena ia hidup, maka ia takut kematian. Kehidupan relevan dengan hal yang baik hidup dan kematian relevan dengan hal yang buruk mati. Semua yang ada pada kolom sebelah kiri menegaskan sesuatu yang terkesan positif dan yang kanan ter-kesan negatif. Dekonstruksi Kematian pada Wacana Perempuan Setelah mengaitkan teks tersebut dengan pembacaan struktural, maka yang dida-patkan adalah sebuah makna yang secara kamuflase dianggap sebagai makna yang penuh dan mapan, serta selesai. Namun, ini hanya sebuah upaya bagaimana sebu-ah teks ingin mencapai telos-nya pesan moral bahwa kematian tidak dapat dihin-darkan. Padahal seperti yang dijelaskan Derrida, ada kecenderungan untuk mem-perhatikan pada satu bidang, atau satu ti-tik sebagai fokus utama. Kecenderungan itu akan mematikan makna-makna yang lain, yang dibuang di wilayah marginal, atau dalam istilah ini adalah makna yang sengaja tidak dihadirkan. Lebih jauh lagi, kembali pada konteks ini, ada semacam intentional fallacy struktural dalam pro-ses memahami teks ini. Pertama, pembacaan struktural ini seperti menyepelekan bagaimana pasar diasosiasikan dengan Kematian, bagaima-na laki-laki takut dengan perempuan jika bukan Kematian, dan lain-lain se-hingga pembacaan dekonstruktif akan kembali membuka keran yang disumbat oleh ke-tak-becus-an pembacaan struktu-ral yang jelas dalam konteks ini, sangat patriarkat. Dengan melihat teks tersebut de-ngan segala keterbukaannya, maka hal yang pertama kali perlu mendapat perha-tian khusus adalah karakter pelayan. Ia seorang pembantu, laki-laki, dan pergi ke pasar. Ia pulang dengan tergesa-gesa ka-rena melihat Kematian dan pergi dengan menaiki kuda ke Samarra untuk meng-hindari Kematian. Pertama, tercetus pertanyaan, kaitan antara laki-laki dan pasar. Terlepas dari konteks ia seorang pelayan atau ia disu-ruh, maka akan terlihat sebuah perbeda-an mencolok bahwa laki-laki juga di pa-sar, tempat ia bertemu perempuan, yang merupakan Kematian. Pasar selalu lekat dengan citra pe-rempuan, tempat penawaran, pembelian, penjual, dan asosiasi ini kemudian runtuh ketika melihat bahwa pedagang juga akan selalu mendekat pada pasar tempat ia harus menjual. Meskipun melalui pela-yan maupun secara langsung, pasar men-jadi sebuah setting yang tepat untuk membongkar masalah citra ini. Terlebih, masalah kelas antara Majikan dan pela-yan, meski keduanya sama-sama laki-laki, keduanya memiliki perbedaan. Menyinggung masalah ini, ada para-doks maskulinitas yang diciptakan oleh pelayan; ia lari terbirit-birit oleh seorang perempuan karena takut kehidupannya akan dirampas oleh perempuan yang me-rupakan sosok Kematian. Pelayan, se-orang laki-laki yang pergi ke pasar tem-pat perempuan juga ke pasar, sudah me-rupakan bentuk jatuhnya susunan pat-riarkat ketika laki-laki di atas perempuan. Jika laki-laki lebih atas, maka dia tak se-harusnya berada di tempat perempuan berada, dengan analogi sederhana, jika ia seorang pelayan, mengapa ia tidak me-nunjuk perempuan untuk pergi ke pasar? Bukan karena ia pelayan, tapi karena ia laki-laki yang berprofesi sebagai pelayan yang membuatnya ke pasar. Di dalam dirinya, terdapat rantai penanda yang ti-dak stabil. Satu penanda laki-laki ber-benturan dengan penanda lain pasar yang berantai dengan penanda-penanda lain perempuan, rendah, feminin. Hal ini sekaligus menjelaskan ada-nya proses diffĂ©rance. Ada kontradiksi Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 167 yang menjelaskan proses differing laki-laki tapi ketakutan melihat perempuan dan ada proses penundaan totalitas mak-na laki-laki laki-laki yang diperintah oleh laki-laki lain, laki-laki yang ketakutan atau feminine, dan seterusnya. Sejauh pelayan ini terikat dalam teks tersebut, sejauh itu pula makna yang di-hadirkan kacau dan tertunda-tunda. Yang sangat ekstrem adalah bahwa laki-laki dapat menjadi serendah perempuan, dan perempuan dapat menjadi setinggi laki-laki. Bagian selanjutnya adalah tentang keterikatan dengan masalah Kematian yang digambarkan melalui tokoh perem-puan yang berada dalam kerumunan di pasar. Penandaan ini jelas mutlak dan sadis karena perempuan tampak seperti bukan manusia sehingga laki-laki di sini adalah manusia dan perempuan bukan-lah manusia. Dalam logika diffĂ©rance, manusia mempunyai ciri khas hidup dan mati se-hingga kehidupan dan kematian adalah bagian dari kemanusiaan. Jika perempuan adalah Kematian dan laki-laki adalah ma-nusia, maka kehidupan adalah bagian la-ki-laki. Jika kematian adalah bagian satu-nya dari manusia, maka perempuan ada-lah bagian dari laki-laki, dan jika laki-laki atau manusia takut kematian, maka ini mengindikasi bahwa kehidupan lebih rendah dari kematian. Kematian adalah sebuah penanda akhir dari eksistensi manusia. Atau dengan kalimat yang lebih ringkas, manusia selalu ingin hidup, laki-laki selalu ingin hidup, dan jika mereka bertemu kematian mereka akan meng-hindar atau kalau mampu, kematian akan dihapus sehingga manusia tidak bertemu dengan kematian. Jika demikian, maka manusia bukanlah manusia karena ma-nusia harus hidup dan harus mati, mem-buang salah satunya menghapus definisi manusia. Itulah paradoks bagaimana makna selalu ter-beda-kan dan tertunda kehadirannya. Tidak ada yang total dan tidak ada yang lepas dari pluralitas para-doks maknanya sendiri. Dari sini, dapat dilihat bahwa laki-laki menempatkan perempuan sebagai Kematian, dan laki-laki ingin menghin-darinya karena Kematian adalah hal yang sangat mengerikan. Dengan ingin mem-buang Kematian yang merupakan bagian dari dirinya, laki-laki, atau manusia, men-jadi bukan manusia, karena ciri-ciri wa-jibnya dihapus. Perempuan malah men-jadi sesuatu yang utuh karena dia selalu mencari laki-laki, Kematian selalu menca-ri kehidupan sebagai sebuah pasangan. Ketika keduanya bertemu, terbentuklah manusia. Ini sekaligus mendekonstruksi kemapanan makna Kematian dan Kehi-dupan dalam teks ini. Melihat lebih jauh, mengenai yang konkret dan yang abstrak tentu masih terkait dengan masalah manusia dan bu-kan manusia, laki-laki sebagai manusia dan perempuan sebagai nonmanusia. Apa yang dapat dikatakan sebagai sesu-atu yang konkret adalah apabila hal ter-sebut terlewati secara empirik dan rasi-onal seperti yang dilakukan Kant dalam menggabungkan pernyataan sintetiknya intuisinya Rousseau dengan rasionalitas-nya Descartes Perkins, 1995, dengan begitu kekonkretan sesuatu menjadi mutlak. Dalam haluan ini, manusia dapat di-katakan konkret ketika manusia itu mempunyai eksistensi dan juga esensi, baik secara fisik maupun mental. Kemu-dian yang masuk dalam kategori abstrak adalah sesuatu yang sifatnya kabur dan tidak menentu, seperti hantu, iblis, seni, ide yang masih dalam pikiran, dan lain sebagainya sehingga manusia untuk menjadi abstrak ia harus keluar dari kon-kretisasi seperti menjadi hantu atau men-jadi ide. Jelas hal ini sangatlah berten-tangan mengingat manusia secara eksis-tensi memiliki raga dan secara esensi memiliki jiwa. Akan tetapi, dalam kaitan-nya dengan proposisi perempuan dalam Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 168 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print teks ini yang ditandai sebagai Kematian, yang merupakan ide bawaan yang ab-strak, maka perempuan kembali pada wi-layah ketidakmapanan sedangkan laki-laki menempati wilayah yang jelas dan pasti. Hal ini perlu ditendang lagi me-ngingat apa yang pasti dari laki-laki ada-lah bahwa dia pemberani, menaiki kuda layaknya pahlawan-pahlawan Troya yang berjuang menghadapi perang saudara, ataupun kisah-kisah heroik Sparta de-ngan kuda berpakaian besi, ternyata lebih pengecut dari seekor keledai yang hen-dak mengambil wortel yang berada di mulut singa, secara analogis. Tentu hal ini adalah sebuah pemba-likan yang luar biasa atas konkretisasi laki-laki sebagai manusia dan kematian sebagai yang abstrak. Kematian mengata-kan bahwa ia memiliki pertemuan di Samarra, ia hanya memberi sebuah gerak tubuh. Ia pasti memberi isyarat. Kepasti-an Kematian dalam teks ini memberi ru-ang nafas pada pembalikan bahwa Kema-tian itu konkret, pasti, dan tidak abstrak. Efek dari kematian adalah sebuah penan-da yang jelas mewakili kematian sebagai sesuatu yang konkret, sedangkan manu-sia dalam hal ini diwakili oleh pelayan berlarian ketakutan hanya melihat gerak tubuh kematian. Dia melarikan diri ke Samarra dan Kematian memang sudah di sana. Melihat hal ini, jelas akan membuat bimbang untuk memutuskan bahwa yang konkret adalah yang abstrak dan yang abstrak adalah yang konkret, atau bahkan karena satu sisi memiliki dua sisi seka-ligus, dan sisi lain memiliki dua sisi juga. Sampailah pada bagian terakhir de-ngan melihat antara baik dan buruk yang jelas langsung mengarah pada susunan hierarkis yang kolot akan tinggi dan rendah dalam takaran moral. Perempuan yang digambarkan sebagai Kematian, se-cara eksplisit menawarkan sebuah gagas-an akan kengerian bagi manusia, buruk dan sesuatu yang bersifat membahaya-kan. Dalam keadaan ini, tentu masih ter-buka kemungkinan munculnya makna baru bahwa Kematian justru adalah hal yang terbaik bagi pelayan. Pelayan adalah pembantu saudagar, saudagar mencipta-kan seekor monster yang bernama sistem hierarkis ingat Hegel, Master/Slave se-hingga untuk melepaskan diri dari pe-nyiksaan implisit serta perbudakan spiri-tualitas yang menjadi belenggu eksisten-sisnya, pelayan tentu sangat membutuh-kan Kematian demi menghapus sistem simbolik-sosial yang memborgolnya. Ek-sistensinya yang dipenjarakan harus di-habisi dengan begitu ia akan mencapai esensinya daripada ia eksis hanya diba-wah ketiak Majikan. Kematian menjadi sebuah momok yang menggembirakan, bukan momok yang menakutkan. Sisi lain, Kematian, meski harus ter-ikat dalam sebuah penandaan akan sesu-atu yang buruk, Kematian di sini juga da-pat dilihat dari teropong lain di mana Kematian secara garis besar telah mem-buat takut dan membuat penis laki-laki di dalam teks ini mengkerut ketakutan. Ke-matian yang merupakan perempuanâdalam teks iniâtelah mengebiri dan membuat kejantanan pelayan lenyap, ter-kecuali si pelayan yang rela menghadapi Kematian demi meminta kejelasan. Sau-dagar, sama halnya dengan pelayan, akhirnya harus mencari perempuan atau Kematian. Dia tidak serta-merta berdiam layaknya raja yang menempati posisi ter-atas dalam sistem hierarkis. Pada akhir-nya dia harus mencari perempuan. Di si-nilah sistem hierarkis antara laki-laki dan perempuan luntur dan cair seperti dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2 Pembacaan Dekonstruktif Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 169 Teks ini tentu tidak muncul begitu saja, bagaimana perempuan menjadi aso-siasi dengan Kematian, dan Kematian ter-nyata juga tidak melulu tercaplok oleh berbagai teks yang menggelapkan ruang-nya, tapi banyak teks terutama dari ranah mitos-mitos kuno yang menempatkan perempuan sebagai makhluk dengan dua sisi yang memberi propaganda khusus kepada setiap wacana laki-laki yang men-coba mengukuhkan dirinya. Dengan begi-tu, intertekstual berikut akan menjawab berbagai masalah tersebut. Dalam cerpen âThe Appointment in Samarraâ karya William Somerset Maugham, narasi yang ditawarkan bersi-fat simbolik, terutama bagaimana sosok âkematianâ muncul dalam wujud perem-puan, sedangkan para lelaki Saudagar dan si Pesuruh, terutama si Pesuruh be-gitu ketakutan dengan kematian yang menyapanya. Melihat pola cerita seperti ini, maka akan muncul sebuah wacana yang sekilas tampak ambigu, apakah Pe-rempuan dalam sosok âKematianâ terse-but adalah sebuah mitos atau teks yang menyudutkan perempuan ataukah Pe-rempuan dalam sosok âKematianâ terse-but adalah sebuah mitos atau teks yang memporak-porandakan ketersudutan pe-rempuan dalam teks-teks sebelumnya? Dengan melihat hal tersebut, maka masa-lah dalam makalah ini mulai terkuak da-lam sebuah rajutan dekonstruksi di mana pluralitas serta paradoksikal perempuan dalam cerpen ini menjadi jejak-jejak yang ditawarkan. Dimulai dari sebuah stere-otip yang selalu dilekatkan, dengan me-ngaplikasikan intertekstualitas, maka wa-cana mengenai Death yang dalam cerpen âThe Appointment in Samarraâ yang diru-jukan pada perempuan, menjadi semakin menegas seiring konstruksi mengenai perempuan sebagai makhluk yang buruk dan pembawa kematian. Stereotip yang melekat pada perem-puan tidak muncul begitu saja. Sejak ber-abad-abad lalu, berbagai wacana menge-nai femme fatale sudah muncul saat era sebelum agama Kristen lahir. Fatal dapat diartikan sebagai sesuatu yang mengan-dung bahaya yang juga dapat mengun-dang kematian. Berdasarkan wacana-wa-cana tersebut, perempuan-perempuan tersebut ada yang cantik, kuat, tidak ter-kontrol, dan menggoda. Namun, ada juga yang buruk rupa, gila, destruktif, dan am-bisius. Dari seluruh karakteristik terse-but, sosok femme fatale mengantarkan kekuasaan laki-laki pada kehancuran. Fallaize menyebutkan bahwa femme fatale mitos-mitos mengenai perempuan yang bertanggung jawab atas dosa daging dan menggoda laki-laki seperti Eve atau Hawa, putri duyung, dan vampir perem-puan Hanson & Oârawe, 2010. Femme fatale yang digambarkan me-miliki wajah buruk rupa sekaligus sangat kuat adalah Lamasthu. Dalam tradisi ku-no agama Mesopotamia, Lamasthu ada-lah iblis perempuan paling menakutkan. Ia adalah anak perempuan dari dewa la-ngit Anu yang menggorok anak-anak, dan meminum darah dan memakan daging laki-laki. Selain itu, ia mengganggu tidur, menyebabkan mimpi buruk, mematikan dedaunan, mengeringkan sungai, menye-barkan penyakit, mengikat otot laki-laki, dan menggugurkan kandungan. Dalam jimat, Lamasthu sering di-gambarkan sebagai figur berkepala singa atau burung yang memegang ular berke-pala dua di masing-masing tangannya dan menyusui anjing di payudara kanan-nya dan babi di payudara kirinya. Dalam cerita-cerita anak di Barat, misalnya, citra tokoh penyihir perempu-an yang menyeramkan diciptakan saat histeria sihir pada akhir abad pertengah-an, yang diawali dengan penggambaran Shakespeare dalam drama Macbeth me- Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 159-171 170 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print lalui tokoh Weird Sisters yang memiliki jari-jari berbonggol, berjanggut, dan ber-bibir tipis. Pada era itu, perempun yang diang-gap berkaitan dengan paganisme atau melakukan hubungan dengan iblis akan diburu, lalu dibunuh dengan berbagai macam cara seperti dibakar dan diteng-gelamkan ke dalam sungai. Melalui peng-gambaran Shakespeare dalam tokoh Weird Sisters, citra penyihir perempuan dianggap androgini secara fisik dan seca-ra langsung maupun tidak langsung, turut menjelaskan kemampuan dan kekuatan sihir mereka dalam memberikan pro-phecy atau ramalan kepada Macbeth. Ada juga beberapa contoh femme fatale yang secara fisik cantik. Salah sa-tunya adalah Medusa, tokoh mitos Yuna-ni yang memiliki rambut ular. Menurut mitos yang beredar, pada awalnya Medu-sa adalah seorang perempuan yang can-tik jelita. Karena ia melawan Athena, Athena menghukumnya dengan mengu-bah rambutnya menjadi ular-ular yang mendesis. Meskipun demikian, beberapa mitos menyebutkan bahwa ia tetaplah cantik dengan rambut ularnya, sedangkan da-lam legenda Raja Arthur, terdapat tokoh Morgan le Fay yang juga dianggap seba-gai femme fatale. Ia adalah istri dari Raja Lot dari Orkney yang menggoda Raja Arthur. Mereka kemudian memiliki seorang putra yang bernama Mordred yang pada akhirnya membunuh Raja Arthur sendiri. Kombinasi dari kecantikan dan ke-ngerian menjadi yang menarik bagi ba-nyak penulis dan seniman. Dari berbagai contoh di atas, cerita-cerita tentang pe-rempuan, kisah yang mengerikan, kuat, dan terkadang juga cantik, sering di gam-barkan di dalam karya sastra dan terus, direproduksi berulang-ulang. Tubuh perempuan menjadi penanda bahwa dibalik sosok yang dianggap can-tik, kuat, maupun ambisius, tersimpan bahaya yang dapat menjadi ancaman bagi kekuasaan maupun jiwa laki-laki. Meng-hancurkan femme fatale berarti mengu-kuhkan kembali kekuasan laki-laki. SIMPULAN Cerita pendek âThe Appointment in Sa-marraâ karya William Somerset Maugham mengimplikasikan wacana pa-triarkis dengan merepresentasikan pe-rempuan dengan kematian, namun de-ngan pembacaan dekonstruktif, terjadi paradoks dalam proses akuisisi makna. Melalui pembacaan dekonstruktif, perempuan akhirnya mendapatkan sta-tus dekonstruktifnya. Di satu sisi perem-puan menjadi sosok yang mengerikan yang membawa laki-laki kepada kema-tian, sehingga hal ini mendukung mitos-mitos serta narasi-narasi yang mengaso-siasikan perempuan dalam narasi degra-dasi terhadap laki-laki. Namun di sisi lainnya, dengan pembacaan dekonstruk-tif, terjadi pembongkaran serta desentra-lisasi sehingga representasi perempuan menjadi kacau, kabur, dan tersebar, tidak terkristalkan dalam wacana patriarkis; perempuan adalah kematian yang dita-kuti oleh semua makhluk, tidak terkecuali laki-laki. Perempuan memiliki kuasa. Itu adalah proposisi wacana tandingan mela-lui teks naratif ini. DAFTAR PUSTAKA Barbosa de Almeida, M. W. 2015. Struc-turalism. In International Encyclope-dia of the Social & Behavioral Sci-ences Second Edition https//doi. org/ Bradley, A. 2008. Derridaâs of Gramma-tology. Indiana Indiana University Press Chandler, D. 2005. Semiotics for Begin-ners https//doi. org/ 0b013e3181e7ff75 Connell, R. W., & Messerschmidt, J. W. Rahmat Setiawan, Sri Nurhidayah/Atavisme, 22 2, 2019, 144-156 Copyright © 2019, Atavisme, ISSN 2503-5215 Online, ISSN 1410-900X Print 171 2005. Hegemonic Masculinity Re-thinking the Concept. Gender and So-ciety 0891243205278639. Davidson, H. M., Derrida, J., & Spivak, G. C. 1979. Of Grammatology. Compara-tive Literature 2307/1771131. Demirhan, K., & Ăakir-Demirhan, D. 2015. Gender and Politics Patri-archal Discourse on Social Media. Public Relations Review https//doi. org/ Gainsford, P. 2005. Agamemnon. The Classical Review Hanson, H., & Oârawe, C. 2010. The Femme Fatale Images, Histories, Contexts. In The Femme Fatale Images, Histories, Contexts https// Hard, R. 2003. The Routledge Hand-book of Greek Mythology. In The Routledge Handbook of Greek My-thology 9780203446331 Hawkes, T. 2002. Structuralism & Semi-otics. In Structuralism & Semiotics 30025 Julian, R. 2016. Mitos Kecantikan dalam Cerpen-Cerpen Dwi Ratih Ramadhany. Poetika https//doi. org/ / Kershner, R. B. 2014. Intertextuality. In The Cambridge Companion to Ulys- ses CCO9 Maugham, 1933. The Appointment in Samarra. edu/english/baker/English320/ Norris, C. 2017. Deconstruction. In Com-panion to Literary Theory https// Ohmann, R. 2019. Reading the Roman-ce Women, Patriarchy, and Popular Literature. Radical Teacher https// Page, P. M. 2004. Course in General Linguistics Ferdinand de Saussure. Language. Perkins, R. L. 1995. The Cambridge Companion to Kant. International Studies in Philosophy https//doi. org/ Sarup, M. 1988. An Introductory guide to Post-Structuralism and Postmod-ernism. London Harvester Wheatsheaf Seaford, R. 1990. The Imprisonment of Women in Greek Tragedy. The Jour-nal of Hellenic Studies https// Stocker, B. 2006. Derrida on Decon-struction. In Derrida on Deconstruc-tion 203358115 Watson, H., & Wood-Harper, T. 1996. Deconstruction Contexts in Inter-preting Methodology. Journal of In-formation Technology https//doi. org/ ... Akan tetapi, di sisi lain penggambaran tersebut membuat perempuan menjadi sosok yang mengerikan, yaitu membawa laki-laki kepada kematian. Hal ini menguatkan mitos-mitos dan narasi-narasi mengerikan yang dilekatkan kepada perempuan Setiawan, R & Nurhidayah, 2019. ...Nana RuhaidaWening UdasmoroNovel A Thousand Splendid Suns berbicara mengenai solidaritas dua perempuan yang merupakan istri pertama dan kedua yang berasal dari usia dan kelas sosial yang berbeda dalam latar gejolak konflik politik di Afghanistan. Poligami biasanya menghasilkan persaingan di antara para istri, tetapi kedua perempuan tersebut justru memiliki solidaritas kuat dalam menghadapi kekerasan suami, masyarakat, dan negara mereka. Permasalahan di dalam penelitian ini adalah mengapa solidaritas digarisbawahi sebagai sebuah fenomena masyarakat ketika menghadapi masa krisis seperti situasi kekerasan dan konflik? Penelitian ini menggunakan konsep solidaritas perempuan dan interseksi gender dari Chandra Talpade Mohanty. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan penyebab solidaritas sesama perempuan di dalam novel ini digarisbawahi sebagai sebuah fenomena masyarakat ketika menghadapi masa krisis. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan data-data yang terkait dengan persoalan solidaritas dan interseksi gender. Penelitian ini mengungkapkan bahwa solidaritas perempuan menguat ketika mereka berada dalam situasi krisis yang sama sehingga satu-satunya cara menumbangkan dominasi maskulin berbentuk kekerasan adalah melalui kunci solidaritas; interseksi gender; A Thousand Splendid Suns; Chandra Mohanty[Womenâs Solidarity in Khaled Hosseiniâ Novel A Thousand Splendid Suns] The novel A Thousand Splendid Suns talks about the solidarity of two women who are the first and second wives from different ages and social classes in Afghanistan's political turmoil setting. Polygamy usually produces competition between wives, but both women actually have a strong solidarity in facing the violence of their husband, society, and state. The problem in this research is why solidarity is underlined as a community phenomenon when facing times of crisis, such as situations of violence and conflict. This study uses the concept of women's solidarity and gender intersection from Chandra Talpade Mohanty. The study aims to explain the solidarity causes among women in this novel, which is underlined as a community phenomenon when facing a crisis. The method used in this research is descriptive qualitative with data related to issues of solidarity and gender intersection. This research revealed that women's solidarity strengthens when they are in the same crisis. The only way to subvert masculine domination in the form of violence is through solidarity. Imas MarfudhotunWiyatmi WiyatmiPatriarchal capitalism shows the dominance of men in the various life sector. Feminism, as a style, demands gender equality. This research aims to understand body autonomy in a short story "Wanita Muda di Sebuah Hotel Mewah" with Sara Mills' feminist perspective. This descriptive qualitative method took the data from the short story written by Hamsad Rangkuti in 2016, published by Senja. This research observed the subjects, objects, and readers via reading and note techniques. The results showed that the sixteen-year-old woman became the object. The woman did not have any autonomy over her body. The other problem was the economic problems that made her sold his virginity. The self-trafficking process of the hotel officer made the officer the subject. The third matter, the beauty of the body and the virginity, was the co-modification that had price value. The fourth, the woman could not control her body. The feminist interpretation, based on Sara Mills, in the short story, showed that the woman became the object, the guess, and the hotel officer as the subject. The position woman also had the reader's position, the hotel officer, and the hotel OhmannIn a class on popular fiction, this book leads students to a more sophisticated understanding of what Harlequin romances and similar books might mean to their JulianThis study highlights the myth of beauty in short stories written by Dwi Ratih Ramadhany, which are âJanda Sungai Gayamâ and âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. The perspective utilized in this study is the myth of beauty by Naomi Wolf. The results are 1 both the short stories illustrate standards of beauty identified by long black hair, long neck, sensual lips, body fragrant, white-toned-smooth-skin, and slim body; 2 in both short stories, the quality of beauty refers to behaviors that could arouse an excitement rather than merely consider physical appearance;3 regarding beauty not as an intrinsic quality, it is affected by external factors, for instance cosmetic and supernatural powers. Myth of beauty in both short stories stands on the runway of menâs interest and taste, and womenâs motive toachieve resources provided by men, which are called loyalty, recognition, praise and charm. Kajian ini mengangkat isu mitos kecantikan dalam cerpen-cerpen Dwi Ratih Ramadhany, yakni "Janda Sungai Gayamâ dan âPerempuan Bisu dan Cermin Ratuâ. Perspektif yang digunakan adalah mitos kecantikan Naomi Wolf. Hasilnya antara lain 1 kedua cerpen tersebut menggambarkan bahwa cantik memiliki standar baku rambut hitam panjang, leher jenjang, bibir merekah, tubuh wangi, kulit kencang-putih-mulus, dan langsing; 2 dalam cerpen-cerpen tersebut, sesungguhnya kualitas cantik lebih merujuk pada perilaku yang dapat membangkitkan gairah daripada penampakan fisik; 3 karena cantik bukan merupakan kualitas instrinsik, ia dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, yaitu kosmetik dan kekuatan supranatural. Mitos kecantikan dalam kedua cerpen tersebut berdiri di atas landasan kepentingan dan selera laki-laki, serta motif perempuan untuk mendapatkan sumber daya yang disediakan oleh laki-laki, yaitu kesetiaan, pengakuan, pujian, dan NorrisThis chapter approaches the topic of deconstruction through a selective account of Jacques Derrida's work along with that of Paul de Man and other thinkers such as Geoffrey Hartman. It offers a critical and cultural perspective by reviewing the complex receptionâhistory of Derrida's thought and the often sharply contrasted ways in which his texts have been read, understood, and applied by different interpretative communities, most notably philosophers and literary critics. Beyond that it seeks to clarify the issues at stake in a mode of reading so intensely aware of the logical and rhetorical complications that arise in the process of examining its own as well as other Brandon KershnerFew books in the English language seem to demand a companion more insistently than James Joyce's Ulysses, a work that at once entices and terrifies readers with its interwoven promises of pleasure, scandal, difficulty and mastery. This volume offers fourteen concise and accessible essays by accomplished scholars that explore this masterpiece of world literature. Several essays examine specific aspects of Ulysses, ranging from its plot and characters to the questions it raises about the strangeness of the world and the density of human cultures. Others address how Joyce created this novel, why it became famous and how it continues to shape both popular and literary culture. Like any good companion, this volume invites the reader to engage in an ongoing conversation about the novel and its lasting ability to entice, rankle, absorb, and media is an alternative communication space embedded with opportunities for free and equal participation. However, it perpetuates the dominant discourses on society. This study researches on a Twitter case explaining the production of patriarchal discourse on women with the help of tweets under the hashtag; âa woman has to beâ. This study supports the idea that social media needs the dynamism of alternative digital publics and alternative discourses to challenge the dominant power relations as well as improving Watson Trevor Wood-HarperThis paper considers how a methodology's theory and practice shapes contexts for interpretation. With these two terms as starting points, we also address a paradoxical situation any description of interpreting contexts is bound to leave something out. To address this, we propose deconstruction as a double strategy for critically interpreting contexts in each situation. This relies on terms of existing oppositions in conceptual frameworks but seeks to displace the limitations they impose on how we conduct inquiry. Since meaning is context-bound but contexts are boundless, we argue that inquiry should be conducted through critical perspectives, and we describe this in terms of a systems analyst's expertise in conceptual triangulation the defining of an unknown point in relation to two known of Information Technology 1996 11, 59Â70. doi
njGjFFe.